Wednesday, 3 September 2014

Kualitas Tanah Jember Buruk




Kandungan unsur hara dalam tanah pertanian di Kabupaten Jember saat ini masih di bawah standar minimal tingkat kesuburan yang dianjurkan. Standar minimal unsur hara yakni sebesar 5 persen. Sedangkan untuk saat ini, tingkat unsur hara tanah di Jember hanya sebesar 2 persen.
            Hal ini diakibatkan oleh penggunaan pupuk kimia atau pupuk anorganik yang berlebihan oleh petani. Pasalnya, saat ini tingkat ketergantungan pupuk kimia yang tinggi menjadikan petani sulit untuk beralih menggunakan pupuk organik yang bisa mengembalikan kualitas unsur hara pada tanah.
            Oleh karena itu, saat ini sosialisasi penggunaan pupuk organik dan juga pembuatannya lebih digiatkan oleh Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Jember melalui penyuluhan-penyuluhan dan pelatihan kepada para kelompok tani (Poktan) dan juga gabungan kelompok tani (Gapoktan) yang berada di masing-masing desa di Kabupaten Jember.
            “Unsur hara tanah kita saat ini masih di angka 2 persen. Padahal minimal harus 5 persen. Ini yang membuat produksi tanaman petani semakin menurun setiap tahunnya,” terang Kasi Penyuluhan Dinas Pertanian Kabupaten Jember, Luluk Hermanto.
            Di sisi lain, menurut Luluk, kesadaran masyarakat untuk menggunakan pupuk organik masih rendah. Hal itu terbukti dari luas areal sawah yang saat ini menggunakan pupuk organik yang masih sangat sedikit. “Arealnya tidak lebih dari 2 persen untuk seluruh Kabupaten Jember,” tutur Luluk.
            Oleh karena itu, saat ini setiap Gapoktan diwajibkan untuk memproduksi pupuk organik sendiri untuk digunakan oleh anggota-anggota kelompoknya. Hal ini juga untuk mengurangi konsumsi berlebih dari pupuk organik bersubsidi dari pemerintah.
            “Saat ini ada 248 Gapoktan dan ada sekitar 1.737 kelompok tani di seluruh Jember. Mereka diberikan penyuluhan pembuatan pupuk organik. Saat ini secara produksi pupuk yang mereka buat sudah baik,” terangnya.
            Saat ini produksi pupuk organik padat yang dilakukan oleh para gapoktan dan kelompok tani di Jember sudah sebanyak 11.160,5 ton sampai akhir bulan Juli 2014. Sedangkan untuk pupuk organik cair pada data waktu yang sama sebanyak 10.052 liter. “Jumlah produksinya selalu meningkat setiap tahunnya,” ujarnya.
            Beberapa wilayah Gapoktan yang menghasilkan pupuk organik padat yaitu Gapoktan Kecamatan Puger, Sukorambi, Ambulu, Ledokombo, Sumberbaru dan Sumbersari. “Di daerah Karangharjo, petani membuat pupuk organik padat dari bahan baku tanaman Azola (sejenis tanaman air). Bahkan mereka sudah menjualnya ke pulau Sumatera,” jelas Luluk.
            Sedangkan untuk produksi pupuk cair, terdapat di wilayah Kecamatan Wuluhan, Kencong, Umbulsari, Jenggawah, Ajung, Patrang dan Kaliwates. Pupuk organik cair ini bisa dibuat dengan memanfaatkan bahan baku batang pisang dan urine sapi.
            “Tetapi hampir semua Gapoktan di semua wilayah bisa membuat pupuk organik, baik padat maupun cair. Namun lokasi yang tepat untuk membuat pupuk organik yaitu daerah yang dekat dengan mata air,” papar Luluk.
            Menurut Luluk, pola konsumsi masyarakat yang sangat bergantung pada pupuk kimia saat ini sangat tinggi, sehingga tidak mudah untuk secara serentak mengubah pola konsumsi masyarakat untuk menggunakan pupuk organik. Beberapa alasan petani enggan untuk menggunakan pupuk organik salah satunya karena kebutuhan pupuk organik per hektar yang sangat besar. Untuk melakukan pemupukan satu hektar lahan, petani memerlukan sekitar 2 ton pupuk organik.
            “Artinya, jika harus diangkut dengan kendaraan, maka membutuhkan biaya angkut yang lebih besar karena harus beberapa kali jalan,” terang Luluk.
            Salah satu solusi untuk menanggulangi hal itu yaitu membuat pupuk organik di lokasi persawahan petani. Sehingga, jika pupuk sudah jadi, petani hanya mengangkut pupuk yang berjarak sangat dekat lokasi persawahan mereka. “Jadi, petani tidak perlu mengeluarkan biaya angkut pupuk ke sawah,” terangnya.
Sementara itu, salah satu dosen Jurusan Tanah Fakultas Pertanian Universitas Jember, Sutrisno pada waktu yang berbeda menjelaskan, penggunaan pupuk kimia membuat tanah menjadi padat dan tidak subur. Hal ini mengakibatkan tanah tersebut tidak mendapatkan rongga udara untuk menyerap oksigen yang dilakukan akar tanaman.
            “Semakin banyak rongga dalam tanah, artinya tanah tersebut semakin gembur dan subur. Karena oksigen tidak hanya diserap oleh daun, melainkan juga diserap oleh akar. Semakin sehat kondisi akar, maka kualitas tanaman akan semakin baik,” terangnya.
Selain itu, penggunaan pupuk kimia yang berlebihan akan membuat mikro organisme dalam tanah akan mati. Sehingga proses penyuburan tanah dan juga pemberian nutrisi pada tanaman semakin menurun. “Fungsi dari mikro organisme dalam tanah adalah untuk mengurai zat-zat padat yang dibutuhkan dibutuhkan oleh tanaman. Seperti, pembusukan daun dan kotoran hewan. Jika telah diurai akan menghasilkan nitrogen dan zat-zat lain yang berguna bagi tanaman,” paparnya.
Dia menginginkan, petani menerapkan pola tumpang sari dan juga mengharapkan agar petani tidak memaksakan penggunaan pupuk kimia yang berlebihan dan juga menghindari pemaksaan percepatan produksi pangan yang dapat mengurangi kualitas kesuburan tanah.
“Petani dapat menerapkan pola tumpang sari lahan pertanian. Artinya, penanaman jenis tanaman yang berbeda setiap pasca panen agar penggunaan pupuk kimia tidak terlalu besar. Untuk musim pertama ditanami padi, setelah panen ditanami palawija atau tanaman kedua selain padi,” tuturnya.

No comments:

Post a Comment