Monday, 15 September 2014

Panen Raya Akibatkan Harga Lele Anjlok




PUGER- Harga jual komoditas perikanan air tawar jenis lele mengalami penurunan sejak dua pekan terakhir. Pasalnya, terjadinya panen raya lele secara bersamaan membuat pasokan lele di pasar lokal melimpah. Bahkan saat ini banyak pasar lokal yang sudah memberhentikan pasokan lele dari petani.
            Harga jual ikan lele turun sebesar Rp 1.500 per kilogram. Dari harga sebelumnya sebesar Rp 15.000 per kilogram, saat ini menjadi Rp 13.500 per kilogram. Penurunan harga ini menjadi pukulan bagi petani karena biaya budidaya lele sangat tinggi.
            Sekitar 70 persen budidaya lele bergantung pada variabel pakan, harga pakan ikan mengalami kenaikan per 18 Juni 2014 lalu sebesar Rp 150 hingga Rp 200 per kilogram. Sebelum kenaikan, harga pakan dalam satu karung pakan berukuran 30 kilogram sebesar Rp 266.000. Harga pakan naik menjadi Rp 270.500 hingga Rp 272.000 per karung.
            “Panen raya terjadi secara bersamaan dalam minggu-minggu ini. Hal ini membuat harga di pasar anjlok,” kata salah seorang petani ikan lele di Desa Getem Kecamatan Puger, Jumat (50) saat dihubungi oleh Kabar Jember, Senin (15/9).
            Hal ini dikarenakan, 4 bulan yang lalu, para petani lele mendapatkan gairah yang tinggi untuk melakukan budidaya lele. Karena harga kala itu mencapai Rp 15.000 per kilogram sampai Rp 16.000 per kilogram. “Akhirnya, semua petani menebar benih secara bersamaan. Saat panen seperti ini, harga jual lele jadi turun,” ungkap pria yang akrab disapa Pak Erin ini.
            Untuk petani lele dalam ukuran budidaya skala kecil, pasokan banyak dikirim untuk kebutuhan lokal Kabupaten Jember. Namun untuk petani lele yang melakukan budidaya skala besar, penyerapan pasar lokal dinilai tidak maksimal. “Untuk petani skala besar, pasokan dikirim ke luar kota. Pasar terbesar di Bali dan Jakarta,” ujarnya.
            Untuk penjualan ke luar kota, petani menjualnya terlebih dahulu ke pengepul Jember. Dari pengepul Jember itu, selanjutnya lele dikirim ke pengepul Bali dan dipasarkan ke masing – masing pasar, baik pasar umum maupun sektor industri dan restoran.
            “Pengepul Jember sebelumnya menjual ke pengepul Bali sebesar Rp 17.000 per kilogram sampai Rp 18.000 per kilogram. Namun dikarenakan pasokan yang banyak dari Jember dan juga luar Jember, harga beli dari Bali juga turun menjadi Rp 16.500 per kilogram. Harga jual ke konsumen Bali berkisar antara Rp 20.000 per kilogram sampai Rp 23.000 per kilogram,” paparnya yang juga seorang pengepul dari Jember itu.
            Harga beli pengepul dari Bali juga mengalami penuruan akibat panen raya yang juga terjadi di beberapa kota penghasil Lele lainnya, seperti Banyuwangi, Tulungagung dan juga Lamongan. Bahkan, banyak petani menjual lele hasil panennya di bawah harga pasar.
            “Untuk skala besar yang dijual ke Bali, di Jember, petani menjual sekitar Rp 11.000 per kilogram sampai Rp 12.000 per kilogram. Beberapa daerah lain malah banting harga sampai Rp 10.000 per kilogram. Ini yang akhirnya merusak harga pasar,” ungkapnya.
            Jumat menambahkan, setiap harinya, dia bisa menyediakan pasokan lele ke Bali sekitar 1 ton sampai 1,2 ton per hari.  Namun jumlah ini lebih rendah dibandingkan dengan musim panen lele sebelumnya yang bisa mencapai 5 ton per hari.
            “Sekarang belum bisa membeli banyak dari petani, karena harganya masih tidak bisa bersaing di pasar. Kami saat ini mencoba untuk menembus pasar luar kota lainnya. Karena saat ini kami sangat bergantung pada pasar di Bali,” tuturnya.
            Di sisi lain, Jumat menginginkan adanya pola kemitraan dengan pihak perusahaan pengolahan lele atau eksportir. Dengan menjalankan pola ini, maka harga jual lele tidak dilepas di pasar secara bebas. “Setiap petani bisa mendapatkan harga kontrak dengan para mitra. Permasalahan jumlah pasokan panen ke perusahaan, kami meyakini dari Jember bisa memenuhinya,” katanya.
            Oleh sebab itu, Dinas Peternakan Perikanan dan Kelautan (Disperikel) Kabupaten Jember diharapkan mampu untuk menjembatani para petani dengan mitra tersebut. Saat ini, petani lele memandang Disperikel terkesan diam akan tata niaga lele di Jember dan tidak mau mengambil tindakan jika petani lele sedang terpuruk.
            Hal ini dibantah oleh Kasi Budidaya Perikanan Disperikel Kabupaten Jember, Tigo Dewanto. Menurutnya, saat ini memang tidak ada perusahaan pengolahan lele dan eksportir lele yang terpantau oleh pihaknya. “Saat ini belum ada mitra atau perusahaan pengolahan lele dan juga eksportir. Kalau sudah ada, pasti dari dulu sudah kami manfaatkan keberadaanya,” terang Tigo saat dihubungi pada hari yang sama.
            Dia menambahkan, petani harus bisa mandiri dengan bisa membaca pasar dengan baik agar ketika panen harga jual bisa stabil dan tidak anjlok. “Tetapi petani banyak yang tidak menerapkan pola pikir seperti ini. Banyak petani yang latah, jika petani lele tebar benih, mereka juga ikut tebar benih. Akhirnya harga jual waktu panen anjlok,” pungkasnya.

Sunday, 14 September 2014

LPG 3 Kg batal Naik

PATRANG -PT. Pertamina dan Himpunan Wiraswasta Nasional Minyak Bumi dan Gas (Hiswana Migas) telah menetapkan harga jual LPG 12 kilogram maksimal ke sebesar Rp 121.000 per tabung. Hal ini terlansir seusai Rapat Hiswana Migas pada, Sabtu (13/9) kemarin.
            Penatapan ini dilakukan oleh Hiswana Migas setelah adanya informasi resmi dari PT. Pertamina untuk menaikkan harga jual LPG ukuran 12 kilogram sebesar Rp 1.500 per kilogram. Harga jual di kalangan agen diproyeksikan berkisar antara Rp 110.800 per tabung sampai Rp 114.200 per tabung.
            Harga tersebut tergantung jarak dari Supplai Point atau jarak dengan lokasi pengisian Bahan Bakar Elpiji yang berada di Surabaya. Harga jual LPG 12 kilogram di kalangan masyarakat berdasarkan musyawarah seluruh anggota Hiswana Migas.
            “Harga jual LPG 12 kilogram sebesar Rp 120.619 per tabung. Dibulatkan menjadi Rp 121.000 per tabung. Harga itu sudah termasuk Pph dan margin keuntungan setiap agen dan pangkalan LPG,” terang Ketua Hiswanana Migas wilayah eks Karesidenan Besuki, Benny Satriya.
            Benny menilai, harga jual LPG 12 kilogram tersebut masih berada di wilayah kewajaran. Pasalnya, untuk di daerah di luar pulau jawa, harga jual LPG 12 kilogram di kalangan konsumen jauh lebih tinggi dibandingkan dengan di Kabupaten Jember.
            “Salah satu contohnya di Bangka belitung. Disana harga jual LPG 12 kilogram sudah mencapai Rp 181.000 per tabung. Harga jual di Kabupaten Jember ini sudah seimbang,” papar Benny.
            Sebelumnya, diprediksi dengan kenaikan harga jual LPG 12 kilogram akan berdampak pada kenaikan harga jual LPG bersubsidi ukuran 3 kilogram. Namun hal tersebut urung dilakukan. Pasalnya, secara variabel, kenaikan LPG 12 kilogram masih dinilai tidak terlalu berpengaruh dengan konsumsi LPG 3 kilogram.
            “Kenaikan LPG 3 kilogram kemungkinan akan terjadi ketika BBM (Bahan Bakar Minyak) akan naik tahun ini. Karena BBM menjadi bahan bakar transportasi kami,” ungkapnya.
            Namun dengan batalnya kenaikan harga jual LPG 3 kilogram membuat beberapa masyarakat dikhawatirkan akan banyak melakukan perpindahan konsumsi LPG dari non subsidi ukuran 12 kilogram, dan beralih menggunakan LPG bersubsidi ukuran 3 kilogram.
“Pada waktu konversi minyak tanah ke gas (tahun 2008), saya perkirakan migrasi yang terjadi sekitar 30 persen dari konsumen LPG 12 kg ke LPG 3 kg. Ternyata, realitanya sekitar 60 persen konsumen melakukan migrasi. Apalagi dengan meningkatnya harga LPG 12 kg saat ini, maka 99% penggunanya dipastikan akan berpindah ke LPG 3 kg,” terang pemilik usaha PT. Harlindo, Yulius Hartono beberapa waktu lalu.
Menurut Yulius, migrasi atau perpindahan konsumsi itu diakibatkan selisih harga yang terlalu tinggi antara LOG 3 kilogram sebagai barang berusbidi dan LPG 12 kilogram sebagai barang non subsidi.
Dengan konsumsi yang sama yakni 12 kilogram, masyarakat yang menggunakan LPG 12 kilogram mengeluarkan biaya sebesar Rp 121.000. sedangkan jika menggunakan LPG 3 kilogram sebanyak 4 kali ganti tabung (12 kilogram), maka mereka mengeluarkan biaya sebesar Rp 60.000.
Namun PT. Pertamina akan menanggulangi hal ini dengan menerapkan Sistem Monitoring LPG 3 kilogram (Simol3k) agar distribusi LPG bersubsidi maupun non subsidi bisa sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
“Simol3k sudah jalan. Dalam sistem itu kita buat database agen dan pengkalan mulai dari alokasi, distribusi, stok dan titik lokasi. Dari sistem ini kita bisa lancar dan mudah untuk menelusuri data berikut pengawasan di setiap agen dan pangkalan,” terang Assistant Manager External Marketing Operation Region V Heppy Wulansari.
Heppy menambahkan, untuk kedepan pangkalang akan mendata para konsumennya dan juga jumlah pembeliannya. “Sehingga, jika ada penyimpangan diharapkan bisa segera ditelusuri hingga tingkat konsumen,” ucapnya.
Mengenai perpindahan penggunaan LPG 12 kilogram ke LPG 3 kilogram, Heppy menilai hal itu tidak akan banyak terjadi. Pasalnya, konsumsi LPG 12 kilogram di Kabupaten Jember masih tergolong kecil. “Hanya sekitar 6 persen dari total pasokan LPG baik subsidi atau non subsidi,” jelasnya.
Heppy menyebutkan, konsumsi LPG  3 kilogram di Kabupaten Jember sekitar 160 ton per hari. Sedangkan LPG 12 kilogram hanya sekitar 10 ton per hari. “Itu sama dengan konsumsi LPG 3 kilogram sebanyak 53.300 tabung per hari. Sedangkan LPG 12 kilogram 833 tabung per hari,” pungkasnya.

Edamame Bidik Pasar Timur Tengah




KALIWATES- Produsen kedelai edamame di Kabupaten Jember, PT Mitratani Dua Tujuh, anak perusahaan PT Perkebunan Nusantara X (PTPN X) telah membidik pasar Australia dan Timur Tengah untuk memasarkan produknya. Selama ini, ekspor komoditas andalan Jember itu masih terkonsentrasi ke Jepang.
            "Kami mencoba mengembangkan ekspor ke Australia dan Timur Tengah sebagai upaya diversifikasi pasar. Tapi Jepang masih akan menjadi pasar utama. Selama ini kami sudah cukup menguasai pasar edamame di Jepang, tentu ke depan akan diperdalam penetrasinya sembari menggarap pasar negara lain," kata Direktur Mitratani Dua Tujuh, Wasis Pramono.
Menurut Wasis, pasar Australia dan negara-negara Timur Tengah cukup potensial karena konsumsi hortikultura di negara-negara tersebut cukup tinggi. Kesadaran untuk mengonsumsi makanan sehat telah mampu meningkatkan permintaan edamame.
"Kami ingin, ke depan pasar non-Jepang mulai berkembang. Setidaknya 35 persen produk kami terdistribusi ke luar Jepang. Selama ini, 80 persen dari ekspor kami tertuju ke Jepang, baru sisanya ke dalam negeri dan negara di luar Jepang. Kami juga akan memperkuat pasar dalam negeri karena potensinya cukup menjanjikan," tutur Wasis.
Tahun ini Mitratani menargetkan pendapatan sebesar Rp 130 miliar. Target ekspor dipatok sebesar 6.700 ton produk edamame. "Hingga kuartal pertama 2014, kinerja sudah on the right track," ujarnya.
Wasis mengatakan, pasar di Jepang akan tetap menjadi prioritas karena selama ini produk Mitratani sudah cukup mendominasi pasar edamame di Negara Sakura tersebut. Mitratani memiliki 22 konsumen besar di Jepang.
Di Jepang, pasar edamame Mitratani terdiri atas pembeli ritel dan pembeli pabrikan. Khusus untuk pembeli ritel, produk dikemas lebih kecil, yaitu 2 ons per bungkus. "Banyak disajikan di restoran dan hotel di Jepang," kata Wasis.
Wasis menambahkan, Mitratani juga akan intensif mengembangkan pasar komoditas selain edamame, seperti okra, buncis, dan beragam sayuran lainnya.
"Pasar okra sangat besar di Jepang dan kami sudah mulai mengekspor ke Jepang. Okra ini margin keuntungannya lebih baik dari edamame. Untuk buncis, tahun ini kami uji coba dan rencana ekspor awal 70 ton ke Jepang. Sedangkan produk bumbu dan sayur siap pakai kami pasarkan ke sejumlah perusahaan pertambangan seperti Freeport yang memang membutuhkan makanan siap saji di lokasi pertambangannya yang jauh dari kota," kata Wasis.
Produk turunan edamame juga digarap dengan mengembangkan minuman, tepung, dan pasta, "Sehingga kami tidak hanya jual edamame sebagai produk primer, tapi sudah ada turunannya yang bisa memberi nilai tambah," jelasnya.
Produk edamame selain dijual ke luar negeri juga banyak tersebar di kalangan industri lokal Kabupaten Jember. Beberapa olahan makanan kreatif berbahan baku edamame mulai dikembangkan oleh warga menjadi edamame rebus, cake edamame dan juga edamame goreng.

Salah satu pelaku industri edamame goreng, Siti Muayadah (34) mengatakan, bisnis ini cukup menguntungkan bagi dirinya, selain bahan baku yang mudah didapat, bisnis ini juga mempunyai pasar yang menjanjikan dengan banyaknya toko oleh–oleh di sepanjang kawasan perkotaan Jember.
“Bahan bakunya, kita langsung kerjasama dengan Mitra Tani. Untuk pemasarannya, cukup kita titipkan di beberapa toko oleh–oleh di Jember,” terangnya yang memiliki lokasi industri di Jalan Letjend Suprapto gang XIV Kelurahan Kebonsari Kecamatan Sumbersari ini.
Toko oleh–oleh khas jajanan Jember memang cukup menjamur di sepanjang Jalan Gajah Mada, jalan Trunojoyo dan beberapa ruas jalan lain yang ramai dikunjungi orang. Khusus untuk jalan Gajah Mada yang merupakan jalur provinsi, memang kerap disinggahi oleh pembeli khususnya yang berasal dari luar Kabupaten Jember.
“Perputarannya cepat kalau ditaruh di toko oleh–oleh. Ada banyak toko yang bisa diajak kerjasama, seperti Primadona dan Purnamajati yang banyak orang mengenalnya,” ujarnya.
Biaya yang dikeluarkan oleh Siti untuk satu kali produksi sekitar Rp 500.000 sampai Rp 600.000. Jika dalam satu minggu maksimal produksi yang dilakukannya sebanyak 3 kali, maka dalam satu bulan dia memproduksi edamame goreng sebanyak 12 kali, dan membutuhkan biaya variabel sebesar Rp 6 juta per bulan, untuk biaya upah karyawan Siti mengeluarkan dana sebesar Rp 2 juta per bulan. Jadi, untuk total biaya produksi sebesar Rp 8 juta per bulan.
            Namun besarnya biaya variabel yang dikeluarkan juga diimbangi dengan besarnya omzet yang didapat. Setiap bulan rata-rata dia bisa mendapatkan omzet sekitar Rp 10 juta hingga Rp 12 juta.
            “Keuntugan bersih sekitar Rp 2 hingga Rp 4 juta per bulan. Itu sudah termasuk upah karyawan dan biaya produksi yang lain,” ujarnya.

Friday, 12 September 2014

Beras Merah Organik Tingkatkan Kesehjahteraan Petani




Pengelolaan lahan pertanian berbasis komoditas organik perlu ditingkatkan oleh para petani. Pasalnya, selain memiliki nilai jual yang lebih tinggi dibandingkan dengan jenis beras non organik pada umumnya. Produksi beras organik juga bisa menjadikan para petani lebih mandiri dan tidak mengandalkan pupuk kimia.
            Hal ini sudah dilakukan oleh para petani Desa Sumberbaru Kecamatan Singojuruh Kabupaten Banyuwangi sejak tahun 2001 silam. Dengan menerapkan sistem tanam organik ini, para petani telah memiliki pasar yang berbeda dengan para petani lainnya.
Kebutuhan komoditi organik yang dibutuhkan oleh kalangan yang sangat menginginkan adanya peningkatan kesehatan dibaca dengan baik oleh Koperasi Mendo Sampurno untuk menyasar segmentasi pasar ini.
Koperasi ini telah beranggotakan beberapa petani yang terdiri dari 7 kecamatan sekitar dengan memproduksi beras merah sebanyak 120 ton per tahun dengan renggang 3 kali tanam per tahun. Ketua Koperasi Mendo Sampurno, Samanhudi saat menyambut kunjungan para wartawan pasca adanya pelatihan jurnalistik Bank Indonesia mengungkapkan, para petani yang telah beralih untuk menanam padi organik terutama beras merah semakin menggemari budidaya pertanian ini. “Petani sangat diuntungkan dengan budidaya beras merah, pasalnya keuntungan jauh lebih besar dibandingkan dengan beras biasa,” terangnya.
Harga jual beras merah di kalanag konsumen saat ini berkisar Rp 21.000 sampai Rp 23.000 per kilogram. Produksi dimulai dari pengeringan sampai pengemasan dilakukan oleh Koperasi. “Untuk beras putih organik harga jual ke konsumen sekitar Rp 15.000 per kilogram. Organik mempunyai harga jual yang lebih baik dibandingkan dengan harga jual beras biasa yang sekitar Rp 10.000 per kilogram,” jelasnya.

Selain itu, koperasi juga membeli Gabah Kering Panen (GKP) dari petani seharga Rp 4.250 per kilogram. “Jika harga dipasaran lebih rendah, kami tetap membayar dengan harga itu karena sudah ada sistem kontrak dengan petani. Tetapi ketika harga di pasar umum naik, maka kami juga sesuaikan dengan harga pasar,” ungkapnya.
Di sisi lingkungan, pencemaran terhadap lingkungan akibat dari sektor pertanian ini juga lebih kecil karena tidak ada penggunaan pupuk kimia atau pestisida kimia yang bisa mencemari lingkungan baik air dan darat. “Sudah ada penjagaan kualitas mutu organik sehingga kami sangat menghindari adanya pemakaian pupuk kimiawi,” tuturnya.
Selain itu, para petani juga lebih mandiri karena dengan menerpakan penggunaan cara organik, beberapa petani juga bisa diberdayakan untuk membuat pupuk dan pestisida organik. Mereka menggunakan limbah – limbah organik untuk dibuat menjadi bahan pendukung pertanian organik itu. “Benih pun kami buat sendiri. Jadi, kami tidak tergantung pada produksi benih pabrikanm,” ucapnya.
Samanhudi menuturkan, dari sekitar luasan 200 hektar lahan yang berada di 7 kecamatan itu, sekitar 40 hektar merupakan lahan organik. Artinya, jika dari lahan tersebut dapat menghasilkan sekitar 120 ton per tahun beras merah, maka pendapatan yang bisa diperolah para petani dengan harga Rp 21.000 per kilogram, sekitar Rp 2,5 milliar per tahun.
Samanhudi menyebutkan, untuk pertanian beras merah rata-rata sekitar Rp 7 juta sampai Rp 8 juta per hektar lahan. Namun setiap hektar bisa menghasilkan beras sekitar 5 ton sampai 7 ton. “Masa panen sekitar 3 bulan 10 hari (100 hari). Dengan pola tanam, beras merah sebanyak 2 kali berturut turut lalu ditanami beras putih organik,” katanya.
Sementara itu, Kepala Deputi Bank Indonesia perwakilan Jember, Dwi Suslamnto yang ikut hadir dalam kunjungan itu menerangkan, Banyuwangi merupakan sentra padi. Sehingaa hal itu bisa dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan pasar organik di sejumlah daerah. “Sesuai dengan riset kami, banyuwangi mempunyai keunggulan yakni komoditas padi. Kami fasilitasi para rumah tani dengan mengadakan bantuan teknis (bantek), seperti bantuan analisa pemasaran, budidaya, dan juga keuangan sederhana bagi petani,” ungkapnya.
Setelah dua tahun semenjak tahun 2011 lalu, barulah koperasi mendapatkan sertifikasi organik. Luasan demplot atau lahan percontohan organik yang dibentuk oleh BI di Banyuwangi saat ini sekitar 4 hektar.
Untuk pemasaran, sejumlah apotek menjadi lokasi strategis dalam segi ini. Pasalnya, komoditas beras merah yang sangat baik untuk kesehatan terutama penyandang diabetes sangat dibutuhkan segera oleh para penderita. “Mereka sudah kontrak dengan apotek kimia farma dan juga sejumlah supermarket yang tersebar di Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Bali, Kalimantan dan Sulawesi,” terang Dwi.
Dia mengharapkan agar Kabupaten Jember juga memiliki klaster-klaster sejumlah komoditi agar bisa meningkatkan potensi daerah yang ada. Hal ini dinilai penting untuk menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015 mendatang. (den