PUGER- Harga jual komoditas perikanan air tawar jenis lele mengalami penurunan sejak dua pekan terakhir. Pasalnya, terjadinya panen raya lele secara bersamaan membuat pasokan lele di pasar lokal melimpah. Bahkan saat ini banyak pasar lokal yang sudah memberhentikan pasokan lele dari petani.
Harga jual ikan lele turun sebesar Rp 1.500 per kilogram. Dari harga sebelumnya sebesar Rp 15.000 per kilogram, saat ini menjadi Rp 13.500 per kilogram. Penurunan harga ini menjadi pukulan bagi petani karena biaya budidaya lele sangat tinggi.
Sekitar 70 persen budidaya lele bergantung pada variabel pakan, harga pakan ikan mengalami kenaikan per 18 Juni 2014 lalu sebesar Rp 150 hingga Rp 200 per kilogram. Sebelum kenaikan, harga pakan dalam satu karung pakan berukuran 30 kilogram sebesar Rp 266.000. Harga pakan naik menjadi Rp 270.500 hingga Rp 272.000 per karung.
“Panen raya terjadi secara bersamaan dalam minggu-minggu ini. Hal ini membuat harga di pasar anjlok,” kata salah seorang petani ikan lele di Desa Getem Kecamatan Puger, Jumat (50) saat dihubungi oleh Kabar Jember, Senin (15/9).
Hal ini dikarenakan, 4 bulan yang lalu, para petani lele mendapatkan gairah yang tinggi untuk melakukan budidaya lele. Karena harga kala itu mencapai Rp 15.000 per kilogram sampai Rp 16.000 per kilogram. “Akhirnya, semua petani menebar benih secara bersamaan. Saat panen seperti ini, harga jual lele jadi turun,” ungkap pria yang akrab disapa Pak Erin ini.
Untuk petani lele dalam ukuran budidaya skala kecil, pasokan banyak dikirim untuk kebutuhan lokal Kabupaten Jember. Namun untuk petani lele yang melakukan budidaya skala besar, penyerapan pasar lokal dinilai tidak maksimal. “Untuk petani skala besar, pasokan dikirim ke luar kota. Pasar terbesar di Bali dan Jakarta,” ujarnya.
Untuk penjualan ke luar kota, petani menjualnya terlebih dahulu ke pengepul Jember. Dari pengepul Jember itu, selanjutnya lele dikirim ke pengepul Bali dan dipasarkan ke masing – masing pasar, baik pasar umum maupun sektor industri dan restoran.
“Pengepul Jember sebelumnya menjual ke pengepul Bali sebesar Rp 17.000 per kilogram sampai Rp 18.000 per kilogram. Namun dikarenakan pasokan yang banyak dari Jember dan juga luar Jember, harga beli dari Bali juga turun menjadi Rp 16.500 per kilogram. Harga jual ke konsumen Bali berkisar antara Rp 20.000 per kilogram sampai Rp 23.000 per kilogram,” paparnya yang juga seorang pengepul dari Jember itu.
Harga beli pengepul dari Bali juga mengalami penuruan akibat panen raya yang juga terjadi di beberapa kota penghasil Lele lainnya, seperti Banyuwangi, Tulungagung dan juga Lamongan. Bahkan, banyak petani menjual lele hasil panennya di bawah harga pasar.
“Untuk skala besar yang dijual ke Bali, di Jember, petani menjual sekitar Rp 11.000 per kilogram sampai Rp 12.000 per kilogram. Beberapa daerah lain malah banting harga sampai Rp 10.000 per kilogram. Ini yang akhirnya merusak harga pasar,” ungkapnya.
Jumat menambahkan, setiap harinya, dia bisa menyediakan pasokan lele ke Bali sekitar 1 ton sampai 1,2 ton per hari. Namun jumlah ini lebih rendah dibandingkan dengan musim panen lele sebelumnya yang bisa mencapai 5 ton per hari.
“Sekarang belum bisa membeli banyak dari petani, karena harganya masih tidak bisa bersaing di pasar. Kami saat ini mencoba untuk menembus pasar luar kota lainnya. Karena saat ini kami sangat bergantung pada pasar di Bali,” tuturnya.
Di sisi lain, Jumat menginginkan adanya pola kemitraan dengan pihak perusahaan pengolahan lele atau eksportir. Dengan menjalankan pola ini, maka harga jual lele tidak dilepas di pasar secara bebas. “Setiap petani bisa mendapatkan harga kontrak dengan para mitra. Permasalahan jumlah pasokan panen ke perusahaan, kami meyakini dari Jember bisa memenuhinya,” katanya.
Oleh sebab itu, Dinas Peternakan Perikanan dan Kelautan (Disperikel) Kabupaten Jember diharapkan mampu untuk menjembatani para petani dengan mitra tersebut. Saat ini, petani lele memandang Disperikel terkesan diam akan tata niaga lele di Jember dan tidak mau mengambil tindakan jika petani lele sedang terpuruk.
Hal ini dibantah oleh Kasi Budidaya Perikanan Disperikel Kabupaten Jember, Tigo Dewanto. Menurutnya, saat ini memang tidak ada perusahaan pengolahan lele dan eksportir lele yang terpantau oleh pihaknya. “Saat ini belum ada mitra atau perusahaan pengolahan lele dan juga eksportir. Kalau sudah ada, pasti dari dulu sudah kami manfaatkan keberadaanya,” terang Tigo saat dihubungi pada hari yang sama.
Dia menambahkan, petani harus bisa mandiri dengan bisa membaca pasar dengan baik agar ketika panen harga jual bisa stabil dan tidak anjlok. “Tetapi petani banyak yang tidak menerapkan pola pikir seperti ini. Banyak petani yang latah, jika petani lele tebar benih, mereka juga ikut tebar benih. Akhirnya harga jual waktu panen anjlok,” pungkasnya.