PATRANG- Seorang sarjana hukum biasanya akan mencari pekerjaan untuk menjadi pengacara, jaksa, hakim atau pegawai Pemkab. Namun hal itu tidak berlaku untuk Jamhari (49). Dia lebih memilih menggeluti usaha industri tahu yang telah lama dia pelajari. Saat ini, dia menuai hasil dari keputusannya tersebut. Dalam satu hari, Jamhari mampu meraih keuntungan bersih lebih dari Rp 1,2 juta. Artinya, dalam satu bulan, dia mendapatkan keuntungan lebih dari Rp 37 juta.
Jamhari adalah anak keenam dari 10 bersaudara. Bapaknya menikah lagi dan dikarunia 4 orang anak. Oleh karena itu, Jamhari juga anak dari 14 bersaudara dari ikatan bapaknya. Bakat wirausahanya nampak sejak kecil, bahkan ketika dia menginjak Sekolah Menengah Pertama (SMP), dia mampu untuk mencari penghasilan sendiri.
Waktu dia menapaki Sekolah Dasar (SD), dia menjadi salah satu siswa yang pintar, khususnya mata pelajaran Matematika. Tak jarang teman-teman sekolahnya belajar bersama dengannya untuk mengerjakan soal Pekerjaan Rumah (PR), setelah itu, beberapa teman memberinya uang. Dan dia memanfaatkan uang tersebut sebagai uang jajan sekolah.
“Saya dulu tidak pernah diberi uang jajan oleh orang tua saya. Saya mendapatkan uang dari hasil belajar bersama tersebut,” terangnya sambil tersenyum.
Melanjutkan ke tahapan pendidikan selanjutnya yakni SMP, dia enggan meminta uang kepada orang tua untuk biaya sekolah dan uang saku. Dia memilih bekerja dan membiayai sekolah sendiri. Dia menjadi tenaga industri tahu di Kelurahan Gebang Kecamatan Patrang. Hal ini dia lakukan hingga dia lulus perguruan tinggi. “Saya SMP sudah jadi pekerja di industri tahu. Dan itu saya lakukan hingga saya lulus kuliah,” ungkapnya.
Setiap pagi dia harus bekerja dan sore harinya, dia mencari ilmu dengan bersekolah. Akan tetapi selama dia bekerja, dia juga belajar dan memahami bagaimana cara membuat tahu yang berkualitas baik dan disukai oleh masyarakat. Dia pun tidak hanya bekerja di satu tempat saja, dia bekerja di industri tahu yang berlainan. “Saya bekerja sambil belajar, jika sudah mendapatkan ilmu di suatu industri tahu, saya pindah ke industri tahu yang lain,” ujarnya.
Setelah lulus dari Sekolah Menengah Atas (SMA), dia mempunyai tekad yang berbeda dengan kebanyakan temannya yang sebaya. Dia ingin agar orang tuanya bangga terhadapnya. Dia meneruskan menimba ilmu di Perguruan Tinggi dengan mengambil Fakultas Hukum di Universitas Muhammadiyah (Unmuh) Jember. “Orang tua merasa bangga kepada saya karena kuliah. Mereka merasa perjuangannya sukses dengan melihat anaknya hingga mampu melanjutkan kuliah,” paparnya.
Setelah lulus, dia bekerja di salah satu perusahaan jasa hingga mampu menduduki posisi Kepala Unit. Selama kurang lebih 5 tahun dia bekerja disana, namun dia merasa tidak cocok dengan pimpinannya dan terlibat adu mulut. Merasa dihina, dia memutuskan keluar dari perusahaan tersebut. “Karena leluhur saya dihina, saya memutuskan keluar dan mencari pekerjaan lain,” terangnya.
Padahal, kala itu dia harus menghidupi istrinya. Akhirnya dia bekerja secara serabutan dan tidah lupa dia sungkem kepada orang tuanya untuk mendapatkan doa. Setelah itu dia mulai mencari pekerjaan. Dia pernah bekerja sebagai loper koran hingga menjadi tukang becak umtuk memenuhi kebutuhan keluarganya kala itu.
“Setelah sungkem dan meminta doa, saya bekerja. Saya pernah menjadi loper koran, kuli panggul, hingga tukang becak. Dan itu saya lalui dengan ikhlas,” kenangnya.
Lalu dia mulai kembali dengan berbisnis tahu. Awal mulanya, dia membeli tahu di industri dan menjualnya kembali di pasar. Dari hal tersebut, dia mengetahui selera masyarakat terhadap tahu. Perlahan tapi pasti, dia mengumpulkan modal dan mendirikan sendiri industri tahu. Produksi awal, Jamhari hanya menghabiskan kedelai sebanyak 24 kilogram. “Dulu jadi pedagang tahu. Karena saya ada modal cukup, saya buat industri tahu sendiri,” ulasnya.
Keahlian dia membuat tahu dan juga pengetahuan dia membaca peluang pasar, menjadi modal utamanya menghadapi persaingan bisnis. Akan tetapi, dia lebih siap menghadapi kerasnya persaingan dunia usaha karena dia tidak hanya mengandalakan ketrampilan, akan tetapi dia menerapkan ilmu matematika, sehingga dia dapat menjalankan usahanya dengan disiplin keuangan. “Saya maksimalkan semua yang saya dapat dari sekolah, bekerja di industri tahu dan juga sebagai penjual tahu. Dan itu yanng membuat saya tetap bertahan dengan bisnis ini,” terangnya.
Awal usahanya didirikan pada 2 februari 2002 silam. Dia menilai, ketika diibaratkan garfik, usahanya selalu menunjukkan tren naik. Bahkan konsumen-konsumen datang memadati daftar konsumen yang sudah ada. Hal itu, sempat membuatnya terlena sehingga dia ingin memenuhi semua kebutuhan pasar dan terus meningkatkan jumlah produksi. Dia menaikkan jumlah produksinya menjadi 800 kilogram setiap harinya. Hal tersebut membuat para karyawannya melakukan demo dan mogok kerja.
“Mereka menuntut agar jumlah produksi dikurangi karena tenaga mereka tidak kuat. Saya penuhi tuntutan mereka karena itu hak mereka,” ujarnya. Akhirnya dia membatasi jumlah produksinya pada angka 700 kilogram per hari.
Dengan jumlah produksi sebanyak itu, dia mampu meraup omzet hingga lebih dari Rp 8 juta per hari atau sekitar Rp 241 juta per bulan. Namun dia juga membayar gaji karyawannya dengan tertib. Jumlah karyawannya mencapai 18 orang dan menjalankan sistem kerja rollingselang waktu 2 hari. Setiap karyawan rata-rata mendapatkan gaji pokok Rp 70.000 hingga Rp 80.000 per hari. “9 karyawan kerja dua hari lalu libur dan diganti 9 karyawan lainnya. Gaji mereka rata-rata Rp 70.000 hingga Rp 80.000 per hari,” ungkapnya.
Untuk memberikan semangat kepada karyawannya, dia memberikan bonus kerja setiap bulannya. Bahkan dia juga memberikan uang ceperan kepada karyawan yang membantu tugas lain yang berhubungan dengan produksi. Seperti, membeli bahan bakar kayu dan juga ikut berjualan di pasar. Dalam setiap hari, mereka mendapatkan ceperan antara Rp 25.000 hingga Rp 100.000. Tak hanya itu, jika karyawan selama satu bulan masuk hingga 20 hari, mendapatkan bonus Rp 150.000. “Terkadang, jumlah ceperan mereka lebih besar daripada jumlah gaji pokok, sehingga mereka semangat bekerja,” paparnya.
Sistem manajemen ini dia terapkan lebih dari 12 tahun lamanya. Saat ini, dalam kesehariannya hanya menjadi pengawas produksi dan pemasaran dan juga mengatur keuangan industrinya. Setiap hari, industrinya mencetak tahu hingga 112 kali cetakan. Dengan perhitungan, setiap cetakan memerlukan kedelai sebanyak 6,25 kilogram. Dia mendapatkan keuntungan Rp 7.000 per cetakan. Artinya, dalam sehari dia mendapatkan keuntungan bersih Rp 784.000. “Keuntungan bersih dari produksi tahu, lebih dari Rp 700.000 per hari,” terangnya.
Tak hanya itu, dia juga mendapatkan keuntungan dari penjualan ampas tahu yang dihasilkan dan dijual untuk pakan ternak. Setiap hari, dia dapat menghasilkan ampas tahu sebanyak 25 karung. Harga jual dipatok Rp 19.000 per karung. Jadi dia juga mendapatkan tambahan keuntungan Rp 475.000 per hari.
“Pendapatan bersih dari penjualan tahu dan ampasnya, mencapai Rp 1.262.000 per hari,” ungkapnya. Artinya Jamhari mendapatkan keuntungan bersih sebesar Rp 37.860.000 per bulan.
Dia menilai, saat ini semua target dalam hidupnya telah tercapai. Dari hasil tersebut, dia sudah menunaikan ibadah haji dan juga membeli rumah, mobil dan juga motor untuk anak-anaknya. Istrinya, Siami (47) dan juga anak-anaknya, yakni Ahmad Muzamil (24), Ahmad Miftahul (20), dan juga Sofi Mardiana (13) telah menikmati hasil jerih payah Jamhari. Bahkan anak sulungnya enggan untuk menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan memilih untuk mengikuti jejak ayahnya.
Jamhari berharap, pekerja di industrinya tidak selamanya menjadi pekerja. Dia menginginkan, suatu saat nanti mereka mendirikan industri tahu sendiri. Sehingga dapat menjadi juragan tahu seperti yang telah dirasakan olehnya saat ini.
Alamatx Patrang mana Pak,klo beli ampas tahu apa bisa
ReplyDeleteJalan kenanga 8 pak, skrng menjadi pak RW juga disana. Kalau masaalah ampas bisa lgsg ditanyakan saja pak
Delete